Regenerasi Sandur Tuban Lebih Modern












Ki Rispan Bin Sarbini Djojo Suwito

Regenerasi Sandur Tuban Lebih Modern
Sandur adalah seni tradisional Tuban yang eksistensinya hampir punah, mulai dibangkitkan dengan kemasan lebih modern.

SANDUR atau semacam tandakan merupakan kesenian rakyat yang semakin terpinggirkan. Namun ditangan grup Sri Sadana, Sukorejo Kec. Parengan, pertunjukan seni budaya warisan leluhur yang sarat nilai supranatural dengan berbagai mantera itu tiba-tiba terasa enak ditonton. Apalagi syair-syair pun didendangkan dengan iringan gamelan terasa “menyihir” penontonnya.

Itulah seni Sandur yang mencoba dibangkitkan kembali Eko Kasmo, staf Dinas Pariwasata Tuban berkolaborasi Van Royen seniman muda asal Widang. Konsepnya sederhana, Sandur yang sebelumnya ditampilkan tengah malam hingga dini hari dan menghindari sorot lampu listrik serta lebih menonjolkan atraksi akrobatik dan dialog di luar sadar itu, telah dikemas lebih manusiawi dengan cerita lebih variatif dan kekinian.

Dengan berbagai perubahan pakem, menurut Eko, seni Sandur baru ini lebih cocok disebut teater Sandur karena begitu cairnya kemasannya dan lebih fleksibel untuk ditampilkan. Bahkan pergelaran tak perlu sampai dini hari, cukup satu jam atau lebih.

Seperti saat penampilan mengambil tema Pilpres, yang berlangsung 45 menit. Kisahnya juga sederhana dengan menampilkan tokoh Balong (barat daya), Petak (barat laut), Tansil (tenggara) dan Cawik (timur laut). Semua itu melambangkan asal usul empat tokoh tersebut. Lalu ditambah beberapa tokoh lainnya yang terlibat dialog kocak dalam suasana yang begitu cair.

Menurut Eko Kasmo, staf Dinas Pariwisata Tuban menyatakan, seni yang dulu populer dan selalu dipentaskan usai masa panen itu, hanya tinggal beberapa saja. Kelompok Semanding, yaitu Bektiharjo dan Prunggahan masih mempertahankan keasliannya dengan ritual magis dan pertunjukan kalongkingnya.

Di wilayah selatan Tuban, seperti di Parengan dan perbatasan Montong, unsur cerita yang ditonjolkan. Seperti kelompok Sri Sadana di Sukorejo, yang tampil dengan kemasan modern. Dalam pertunjukannya sudah meninggalkan atraksi kalongking. Namun kisahnya masih mengambil pakem lama, misalnya mantri dan blandong (pencuri kayu), pencari kerja, tentang pertanian, dan beberapa kisah lain khas desa.

“Yang saya tahu Sandur sudah ada sejak tahun 60-an. Kalau Sri Sadana ini sudah regenerasi yang kesekian kali dan eksis kembali sejak 2.000 dipimpin Ki Rispan yang juga ahli mantera atau tanduk dalam pertunjukan itu,” kata Eko.

Apakah berarti pertunjukan Sandur kemasan moderan benar-benar lepas dari unsur supranatural? Baik Eko maupun Van Royen tak bisa menjamin. “Tadi Pak Tanduk bilang dapat kontak dari alam gaib, katanya kok dipanggil-panggil terus, kapan dimainkan,” kata Van Royen, sambil tertawa kecil.

*Sumber: Surabaya Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar